Workshop Pengembangan Desa Wisata Halal

Workshop Pengembangan Desa Wisata Halal

Admin LPPM_2 September 5, 2023 Kegiatan LPPM, Kegiatan UNISBA, Workshop

LPPM UNISBA-Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung sukses menyelenggarakan Workshop bertemakan Wisata Halal pada hari senin dan selasa, tanggal 4 – 5 September 2023. Workshop Pengembangan Desa Wisata Halal dilaksanakan secara luring di Gedung Dekanat Universitas Islam Bandung. Narasumber pada workshop kali ini yaitu Dr. Imam Indratno, S.T., M.T. sebagai Kepala Pusat Pengembangan Wilayah dan Teknologi Lingkungan Hidup, Sumaryadi, M.M. sebagai Anggota Pusat Halal National Hotel Institute (NHI), Yoharman Syamsu, A.Md.Par, S.Sos, M.Si. sebagai Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Disparbud Kabupaten Bandung, dan Weishaguna, S.T., M.M. sebagai Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung.

Kegiatan Workshop dimulai dengan pemaparan Dr. Imam Indratno, S.T., M.T. terkait definisi desa wisata halal yang pada hakikatnya merupakan sebuah integrasi antar aspek-aspek desa wisata yaitu SDM unggul, atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan aktivitas yang harus memenuhi kriteria halal dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan hal itu, pengembangan desa wisata halal harus berangkat dari keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam), sehingga pengembangan desa wisata halal pada prinsipnya tidak akan terlepas dari aspek inklusivitas (inclusivity) dan keberlanjutan (sustainability). Aspek inklusivitas (inclusivity) berkaitan dengan hal-hal seperti kesetaraan, kolaborasi, dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan wisata halal, sedangkan keberlanjutan (sustainability) berfokus pada pengembangan keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya internal desa wisata halal. Selanjutnya, menimbang desa wisata halal memiliki banyak potensi yang perlu dikembangkan secara komprehensif dan belum adanya aturan terstruktur mengenai tata ruang desa wisata pada rencana detail tata ruang (RDTR), maka diperlukan masterplan desa untuk menjawab permasalahan tersebut. Dr. Imam Indratno, S.T., M.T. menyoroti bahwa saat ini di Indonesia, kebanyakan desa wisata halal tidak berkembang dikarenakan proses komunikasi yang dilakukan antar stakeholder dan pelaku wisata masih belum baik dikarenakan tidak memiliki hubungan resonansi pada frekuensi yang sama. Daripada itu, penggunaan analogi neuroplastisitas yang terjadi akibat keseimbangan fungsi saraf simpatik dan saraf parasimpatik sehingga menyebabkan keadaan tubuh manusia yang sehat dapat dijadikan sebuah analogi untuk mengembangkan sebuah desa wisata halal yang inklusif dan berkelanjutan. Pada prinsipnya, Dr. Imam Indratno, S.T., M.T. menjelaskan bahwa teori neuroplastisitas ruang berusaha menjelaskan bahwa bagaimana stimulus nilai halal diharapkan dapat menyeimbangkan aspek inklusivitas (saraf simpatik desa wisata) dan aspek keberlanjutan (saraf parasimpatik desa wisata) sehingga dapat membangun jaringan desa wisata halal baru dan dapat membantu tercapainya keseimbangan ruang (neuroplastisitas). Lebih lanjut terkait teknis, nilai islam dapat diidentifikasi value-nya dengan menyelidiki rantai pasok dan perwujudan kegiatan wisata yang ada di desa wisata halal, sehingga value tersebut dapat menjadi spirit pergerakan konsep pengembangan desa wisata halal dan mendukung terbentuknya neuroplastisitas ruang di desa wisata halal.

Pemaparan workshop selanjutnya dilakukan oleh Sumaryadi, M.M., dimana beliau menjelaskan bahwa pengelolaan desa wisata ramah muslim harus memperhatikan apa saja kebutuhan dan keinginan wisatawan muslim saat melakukan kunjungan wisata. Pada kasus di Indonesia, Sumaryadi, M.M. menyoroti bahwa seringkali desa wisata hanya menyediakan paket-paket wisata yang berfokus pada kegiatan live-in dengan jangka waktu yang lama. Namun, jika diperhatikan ternyata pengembangan paket-paket wisata tidak harus selalu terbatas pada kegiatan semacam itu, terkadang paket-paket live-in dengan jangka waktu sebentar dan hanya berfokus pada beberapa atraksi wisata bisa menjadi opsi pengembangan paket wisata. Daripada kasus tersebut, tentunya dapat disimpulkan bahwa kemauan dan semangat dari masyarakat desa sebagai pelaku wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan saat berwisata sangat diperlukan. Selanjutnya, Sumaryadi, M.M. menilai bahwa wisata ramah muslim adalah wisata yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan muslim, dengan catatan bahwa wisatawan non-muslim boleh berkunjung tetapi tetap menaati peraturan yang ada. Pengembangan desa wisata ramah muslim lebih jauh dikembagkan dengan dasar pengembangan desa wisata, namun lebih ditekankan pada intervensi atribut islami pada komponen-komponen yang ada di desa wisata seperti SDM unggul, atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan aktivitas. Pengembangan desa wisata ramah muslim juga tidak boleh hanya terfokus pada pegembangan desa internalnya saja (sustainability), namun harus juga memperhatikan komunikasi dan kolaborasi dengan pihak eksternal agar terjadi kesatuan visi untuk membangun desa tersebut. Lebih jauh dari itu untuk membangun rantai halal di desa wisata ramah muslim dapat dilakukan dengan melakukan tahapan : 1) membentuk komitmen yang tinggi untuk mengembangkan halal dalam desa wisata, 2) membangun kelompok usaha yang sama-sama berkomitmen untuk menjalankan kegiatan halal, 3) membentuk jaringan dan rantai pasok wisata halal sehingga sistem hulu-hilir wisata terjamin kehalalannya, 4) membangun jejaring dan kerjasama dengan desa wisata sekitar sehingga terbentuk sebuah lingkungan halal, dan 5) mengembangkan standar (kurasi dan sertifikasi halal).

Yoharman Syamsu, A.Md.Par, S.Sos, M.Si. memulai presentasinya dengan memberikan informasi bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama pariwisata halal menurut Global Muslim Travel Index dari tahun 2019 hingga saat ini. Pada tahun 2019, Industri Pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil negara terbesar di Indonesia dengan pendapatan pariwisata Rp 300 miliar akibat masuknya valuta asing (devisa) yang berdampak langsung pada masyarakat. Selain itu, masih pada tahun 2019, Pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan, bahkan di luas ASEAN. Pesaing utama yaitu Thailand dengan pendapatan pariwisata lebih dari US $ 40 miliar (600 Triliun). Yoharman Syamsu juga menyoroti

bahwa Country Branding Wonderful Indonesia berada di peringkat ke-47 di dunia, sementara itu branding negara dari Truly Asia Malaysia berada di peringkat 96 dan branding negara Thailand yang menakjubkan berada di peringkat 83, Country Branding Wonderful Indonesia adalah mewakili positioning dan diferensiasi Pariwisata Indonesia. Adapun 10 destinasi pariwisata halal unggulan di Indonesia yaitu Aceh, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lombok (NTB), Riau dan Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan. Pengembangan pariwisata perlu penguatan tata kelola yang baik agar dapat mewujudkan visi pengembangan pariwisata halal yaitu “Indonesia menjadi negara tujuan pariwisata halal kelas dunia”. Untuk penguatan tata kelola pengembangan pariwisata halal, Yoharman Syamsu menyebutkan roadmap kegiatan yang perlu dilakukan hingga akhir tahun 2023 yaitu pembuatan payung hukum pariwisata halal, edukasi dan sosialisasi, branding dan pemasaran, pengembangan pusat informasi, pemberdayaan, pengawasan, sertifikasi, standarisasi, serta standar skema pembiayaan. Roadmap ini diharapkan dapat membangun Kabupaten Bandung yang maju mandiri dan berdaya saing.

Pada kesempatannya Weishaguna, S.T., M.M. menjelaskan mengenai model implementasi perancangan desa wisata berbasis nilai islam, lokal, dan smart. Salah satu implementasi yang telah berhasil dirancang oleh Weishaguna yaitu Kampung Hejo Sae yang merupakan Co-working Space. Co-working Space merupakan ruang sempit yang kemudian dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan pemanfaatan. Kampung Hejo Sae terletak di Hulu Teknopolis, RW 09 Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujungberung, termasuk kawasan sunda polis (kawasan berbasis pelestarian alam dan budaya sunda). Kawasan Sunda polis masih merupakan kantong-kantong desa transisi dimana konsentrasi budaya sunda dan sisa-sisa lahan pertanian pinggiran Kota Bandung sebelah Timur-Laut. Penting untuk menciptakan model unit lingkungan kreatif dan mandiri berbasis nilai-nilai islam, lokal dan smart dalam kerangka mencapai road map PKM Desa Binaan Universitas Islam Bandung secara berkelanjutan dari tahap pendampingan perancangan hingga implementasi pembangunannya. Weishaguna menjelaskan bahwa nilai penting perancangan Kampung Hejo Sae Co-working Space menurut Hasil Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Unisba tahun 2020-2021, adalah pendampingan proses perencanaan pembangunan yang dilakukan masyarakat dengan mengarahkan potensi-potensi Kampung Wallagri RW 09 Pasanggrahan menjadi terencana dan terprogram dengan jelas. Terutama memberikan stimulasi pemikiran kreatif terhadap ruang sempit atau ruang yang ada menjadi lebih produktif.

Workshop Pengembangan Desa Wisata Halal ini dihadiri oleh perwakilan pokdarwis dan pengelola desa wisata Desa Alamendah, Desa Cikole, Desa Dayeuhkolot, Desa Sugihmukti, Desa Wantilan, Desa Lebakmuncang, dan Desa Cipanas. Hasil diskusi dari workshop ini diharapkan dapat memberikan masukkan dan semangat dalam pengembangan konsep halal di desa wisata dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada.

Komentar

Deprecated: Berkas Tema tanpa comments.php tidak digunakan lagi sejak versi 3.0.0 dan tidak tersedia penggantinya. Harap sertakan templat comments.php dalam tema Anda. in /var/www/html/wp-includes/functions.php on line 5581

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.